Cerai Talak dan Cerai Gugat

Cerai Talak dan Cerai GugatCerai Talak dan Cerai Gugat. Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.

Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).

Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, mengenai perceraian tunduk pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan perbedaan cerai gugat dan cerai talak yang dimaksud dalam KHI satu persatu sebagai berikut:

Dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/1975 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi: “Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerahhukumnya mewilayahitempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI)

Sedangkan, cerai karena talak dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 114 KHI yangberbunyi: Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”

Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di Pengadilan Agama.

Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrulloh Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrulloh, akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.

Selain itu, Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Dengan demikian, dari penjelasan mengenai cerai karena gugatan dan cerai karena talak sebagaimana yang dimaksud dalam KHI yang telah kami uraikan di atas dapat diketahui bahwa keduanya hanya bisa dilakukan dan sah secara hukum apabila melalui proses sidang di Pengadilan Agama.

II.   Tentang talak 1, talak 2, dan talak 3

Menjawab pertanyaan Anda yang lainnya mengenai talak satu dan talak dua, maka kami berpedoman pada pendapat Sayuti Thalibdalam bukunya yang berjudul Hukum Kekeluargaan Indonesia. Sayuti mengatakan bahwa Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 mengatur hal talaq, yaitu talaq hanya sampai dua kali yang diperkenankan untuk rujuk kembali atau kawin kembali antara kedua bekas suami isteri itu (hal. 100). Jadi, apabila suami menjatuhkan talak satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali dengan cara-cara tertentu.

Arti rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami isteri antara seorang suami yang telah menjatuhkan talaq kepada isterinya dengan insteri yang telah ditalaq-nya itu dengan cara yang sederhana. Caranya ialah dengan mengucapkan saja “saya kembali kepadamu” oleh si suami di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil. Sedangkan, arti kawin kembali ialah kedua bekas suami isteri memenuhi ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi, dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami isteri kembali. Sungguhpun demikian, dalam masyarakat kita di Indonesia orang selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan rujuk juga (hal. 101). Mengenai talaq satu atau talaq dua ini disebut juga talaq raj’i atau talak ruj’i, yaitu talaq yang masih boleh dirujuk (hal. 103).

Mengenai talak raj’i ini dapat kita jumpai pula pengaturannya dalam dalam Pasal 118 KHI yang berbunyi: Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.”

Kemudian, mengenai talak tiga kita berpedoman pada Al Qur’an Surat Al-Baqarah. Berdasarkan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230, kalau seorang suami telah menjatuhkan talaq yang ketiga kepada isterinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya untuk mengawininya sebelum perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. Maksudnya ialah kalau sudah talaq tiga, perlu muhallil untuk membolehkan kawin kembali antara pasangan suami isteri pertama. Arti muhallil ialah orang yang menghalalkan. Maksudnya ialah si isteri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suaminya itu sebagai suatu hal yang merupakan inti perkawinan. Laki-laki lain itulah yang bernama muhallil. Kalau pasangan suami isteri ini bercerai pula, maka barulah pasangan suami isteri semula dapat kawin kembali (ibid hal. 101-102).

Talak tiga ini disebut juga dengan talak ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui dalam Pasal 120 KHI yang berbunyi:

“Talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya.Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.” (sumber: hukumonline.com)

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

WhatsApp chat