MAKALAH PENGATURAN CALON INDEPENDEN DAN PROBLEMATIKANYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung merupakan mekanisme demokrasi dalam rangka rekrutmen pemimpin daerah, dimana rakyat secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon bersaing dalam suatu medan permainan dengan aturan main yang sama. Pilkada langsung dapat disebut pemilu apabila dilaksanakan secara terbuka (tranparant) dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable), kedua persyaratan dasar tersebut diterjemahkan dengan berbagai tahapan kegiatan dan penunjang tahapan kegiatan.[1]
Sebelum dilakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat, kepala daerah dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD, namun sebaliknya ketika kepala daerah dipilih oleh rakyat secara langsung oleh rakyat maka kepala daerah bertanggungjawab kepada rakyat yang memilih. Secara politik, Kepala Daerah lalu tidak lagi harus accountable kepada DPRD, melainkan kepada rakyat di dalam bentuk pemilihan Kepala Daerah lima tahunan.[2] Sistem pemilihan langsung oleh rakyat lahir, ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini mengubah sistem pemilihan Kepala Daerah yang dipilih atau diusungkan oleh lembaga legislatif daerah (DPRD) menuju sistem pemilihan langsung oleh rakyat di daerah. Pilkada langsung merupakan ajang untuk memilih dengan bebas terhadap pemimpin daerah yang dianggap mampu untuk memimpin serta menjalankan amanah dalam sistem pemerintahan di daerah dengan sebaik mungkin.
Meskipun kebebasan dalam pemilihan langsung dilakukan oleh rakyat, namun pilihan pemimpin daerah belum dapat dikatakan bebas, hal ini dapat dilihat dengan adanya pembatasan dalam menentukan calon yang ikut dalam pemilihan kepala daerah. Calon-calon kepala daerah sepenuhnya dipilih dan di usungkan dari partai politik. Sedangkan rakyat hanya memilih calon-calon yang telah ditetapkan partai politik bukan atas kemauan rakyat di daerah. Calon-calon yang diusung partai dianggap tidak dapat mewakili kepentingan rakyat dan bahkan tidak memiliki kemampuan di dalam memimpin.
Selama ini usungan calon dalam pemilihan kepala daerah di lakukan oleh partai politik, yang sangat politis dan hanya untuk kepentingan partai semata bukan kepentingan rakyat yang ada di daerah. Sehingga, menimbulkan berbagai persoalan dan perdebatan terkait dengan calon yang di usung oleh partai politik. Undang-undang 32 tahun 2004, menjadi dilema tersendiri dalam hal penetapan calon kepala daerah yang hanya dapat dilakukan oleh partai politik. Dengan demikian, partai politik menjadikan kesempatan ini dalam melakukan transaksi politik untuk mendapatkan sejumlah uang dan kedudukan tertentu kepada calon kepala daerah yang di usung.
Dengan begitu politisnya sistem pencalonan kepala daerah, tentu perlu adanya solusi bagi rakyat agar dapat mengusungakan calon kepala daerah tanpa pelantara partai politik. Sehingga timbul keinginan agar pengusungan calon kepala daerah dapat dilakukan diluar partai politik yaitu melalui jalur independen, dengan adanya calon perseorangan rakyat dapat mengusungakan secara bersama-sama untuk secara bebas mengusung dan bahkan memilih kepala daerah yang dapat mewakili kepantingan yakyat yang ada di daerah. Mengingat selama ini undang-undang 32 tahun 2004, tidak memberikan kesempatan dan peluang bagi calon independen untuk mencalonkan diri dalam pilkada, hanya memberikan kesempatan pada partai politik.[3]
Meskipun dikatakan Pilkada secara langsung, makna langsung di sini lebih terfokus kepada adanya hak pilih dari rakyat untuk memilih kepala daerah. Para calon kepala daerah lebih banyak ditentukan oleh partai politik. Hal ini tidak terlepas dari kerangka kelembagaan bahwa proses pencalonan kepala daerah itu menggunakan ‘party system’.[4] Bahwa organisasi partai cenderung bersifat ologarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri.[5]
Partisipasi politik dalam sistem pemilihan langsung mempunyai dua sisi. Pertama, partisipasi untuk memilih dan memutuskan sendiri pilihannya. Kedua, partisipasi untuk memilih dan sekaligus juga untuk dipilih. Hak seorang warga negara untuk dipilih tidak dapat dibatasi oleh lembaga negara dan partai politik. Baik sebagai anggota masyarakat biasa maupun sebagai anggota dari sebuah partai politik, mempunyai kesamaan kedudukan di dalam konstitusi negara. Artinya, undang-undang manapun tak dapat diadakan untuk membatasi hak politik warga negara hanya karena ia bukan bagian atau anggota dari partai politik tertentu.[6]
Berkaitan dengan tidak adanya peluang atau kesempatan bagi calon independen di dalam pilkada, Lalu Ranggalawe mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon merupakan warga negara Indonesia yang menjadi anggota DPRD Kabupaten Lombok Tengah yang mempunyai kepentingan terkait dengan permohonan pengujian undang-undang a quo dan sangat berkepentingan terhadap pemilihan kepala daerah baik untuk mencalonkan diri maupun dicalonkan.
Pemilihan Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur akan dilangsungkan di Daerah Nusa Tenggara Barat pada tahun 2008. Lalu Ranggalawe berkeinginan untuk ikut mencalonkan diri/dicalonkan sebagai kandidat Gubernur/Wakil Gubernur NTB tersebut. Meskipun Pemohon saat itu masih aktif sebagai anggota DPRD dari Partai Bintang Reformasi (PBR). Pemohon tidak terlalu berharap untuk dapat dicalonkan melalui partai, sebab bukan rahasia umum lagi bahwa pada umumnya partai-partai saat ini sudah menjadi barang komoditi yang diperjual-belikan dengan nilai harga yang terbilang tinggi untuk ukuran di daerah, dan Pemohon sendiri tidak punya kemampuan finansial untuk itu.[7]
Pemohon Mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Bahwa Pasal 56 Ayat (2), Pasal 59 Ayat (1), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5) huruf a, Ayat (5) huruf c, Ayat (6) dan Pasal 60 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5).[8] Materi yang terkadung dalam pasal-pasal ini mengindikasikan bahwa partai politik merupakan satu-satunya sumber kepemimpinan atau penyeleksi kepemimpinan daerah, baik pengusung calon gubernur, bupati dan walikota.
Dengan adanya permohonan pengujian undang-undang tersebut maka Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review dengan Putusan Nomor 5/PUU-V/2007, yang membuka peluang dan kesempatan bagi calon independen untuk ikut serta di dalam pemilihan kepala daerah, putusan tersebut menjadi landasan hukum dan berlaku secara umum di seluruh wilayah Indonesia setelah dibacakan oleh hakim Mahkamah Konstitusi.[9] Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pasal-pasal tertentu dalam Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah membatasi hak-hak warga negara dalam memperoleh kesempatan didalam pemerintahan, sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007, memberikan peluang dan kesempatan secara luas bagi calon independen untuk ikut dalam pemilihan kepala daerah. Putusan MK tersebut berimplikasi terhadap proses pemilihan kepala daerah yang berlangsung di berbagai daerah Indonesia. Pemilihan kepala daerah yang berlangsung pada tahun 2008 hingga tahun 2013 telah diikuti oleh beberapa calon independen (perseorangan), artinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang selama ini yang hanya di usung oleh partai politik kini telah berubah haluan bahwa peluang pencalonan dapat dilakukan jalur independen.
Disini terlihat adanya dua perubahan besar bagi terciptanya pematangan demokrasi di tingkat lokal. Pertama adalah pemilihan calon kepala daerah secara langsung. Kedua adalah calon kepala daerah boleh maju berkompetisi tanpa harus melalui partai politik tertentu.[10]
Agar tidak terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan calon independen tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, serta diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Peraturan ini mengatur secara umum tentang mekanisme pencalonan melalui jalur independen di dalam pilkada.
Ketentuan hukum calon independen, berlaku secara menyeluruh di berbagai daerah Indonesia dengan syarat dukungan yang sama berdasarkan jumlah penduduk. Ketentuan calon independen harus mendapatkan dukungan dengan syarat minimal dukungan. Undang-Undang 12 Tahun 2008 dalam Pasal 59 ayat (2a dan 2b) bahwa pengaturan mengenai jumlah dukungan menjadi permasalahan tersendiri yaitu harus memenuhi dukungan dengan presentase dukungan bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus memiliki minimal dukungan antara 3%, 4%, 5% hingga 6,5% dilihat dari jumlah penduduk yang tersebar lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Kabupaten/Kota di Provinsi yang bersangkutan, dan untuk dukungan calon Bupati / Walikota tersebar di lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah Kecamatan di Kabupaten/Kota dimaksud. Syarat dukungan sebagaimana yang dimaksud tersebut dengan mengumpulkan bukti dukungan berupa lampiran identitas (fotocopy Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tanda penduduk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat dukungan tersebut dinilai sangat tidak realistis dan sangat memberatkan terutama bagi calon perseorangan yang berasal dari daerah-daerah dengan tingkat jumlah penduduk yang besar terutama di pulau Jawa. Sebagai contoh, untuk mendaftarkan diri sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat dengan mengaju jumlah penduduk provinsi Jawa Barat maka diperlukan 1,2 juta salinan fotocopy KPT dan pernyataan dukungan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah tersebut.
Selain itu dilihat secara umum, mekanisme pengaturan calon independen terkait persyaratan pendukung begitu sulit dan bahkan dapat menimbulkan berbagai persoalan di dalam implementasinya, mengingat usungan dari partai politik tidak memiliki syarat-syarat minimal dukungan seperti halnya calon perseorangan. Terlebih teknik verifikasi yang akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang berbeda-beda di setiap daerah, sehingga proses pengaturan calon independen dapat dikatakan sangat alot dan sulit direalisasikan terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah secara langsung di berbagai daerah di Indonesia.
Terkait dengan perolehan suara, pengaturan dan pelaksanaan Pilkada tersebut, bagaimanakah realita yang terjadi dilapangan terhadap pelaksanaan pilkada, terutama dalam implementasi terhadap pengaturan calon independen dan pengaturan calon usulan partai politik atau gabungan partai politik di dalam pilkada, apakah pengaturan yang diberlakukan telah sejalan dengan aspirasi dan tujuan penyelenggaraan sistem demokrasi di Indonesia atau terjadi berbagi problematika di dalam implementasinya.
[1] Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Filosofi, Sistem dan Problema di Indonesia, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bekerja Sama LP3M, 2005), hlm 109.
[2] Kacung Marijan, Sistem Politik Indonesia Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru, Cetakan Pertama (Jakarta: Kencana, 2010), hlm 203.
[3] Usulan untuk di masukkannya calon perseorangan dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pernah di ajukan namun pada saat pembahasan dalam parlemen usulan tersebut kandas pada saat pembahasan yang dilakukan saat itu.
[4] Kacung Marijan, Sistem …op.cit., hlm 183-184.
[5] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Pertama (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm 63.
[6] Septi Nur Wijayanti, “Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Pemilihan Kepala Daerah Terhadap Dinamika Partai Politik”, Jurnal Konstitusi PK2p-FH UMY, Edisi No.1 Vol.,1, (2008), hlm 55-56.
[7] Terpetik dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 5/PUU-V/2007 yang termuat dalam Duduk Perkara kedudukan hukum (legal standing) pemohon, surat permohonannya tertanggal 5 Februari 2007 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 7 Februari 2007 dan diregistrasi dengan Nomor 05/PUU-V/2007 kemudian dilakukan perbaikan pada tanggal 5 Maret 2007 kemudian diperbaiki kembali pada tanggal 13 Maret 2007.
[8] Permohonan yang diajukan terkait dengan adanya pembatasan dalam mengusungkan calon peserta dalam pemilihan kepala daerah, yang hanya membuka kesempatan terhadap partai politik. Hal ini sangat merugikan hak konstitusi calon perseorangan untuk dapat ikut dalam pemilihan kepala daerah provinsi, kabupaten maupun kota. Permohonan ini dapat dibaca dalam halaman 5 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 5/PUU-V/2007.
[9] Sebelum dilakukannya judicial review oleh MK terhadap Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah khususnya Pasal 56, 59 dan 60, usungan calon Independen hanya diberlakukan khusus dalam Pemilihan Kepala Daerah Acah, dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tersebut pasangan calon independen memperoleh suara dengan kemenangan mutlak mengalahkan calon usungan partai politik, sehingga munculnya reaksi dari berbagai daerah untuk dapat mencalonkan melalui jalur independen.
[10] Faiq Tobroni, “Dinamika Perubahan Peraturan Pilkada dan Kontribusinya dalam Memantapkan Demokrasi”, Jurnal Konstitusi PSHK-FH Universitas Islam Indonesia, Edisi No.1 Vol.,III, (2010), hlm 142.
MAKALAH PENGATURAN CALON INDEPENDEN DAN PROBLEMATIKANYA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2008