SIFAT HUKUM ACARA PERDATA
Hukum acara perdata baik dalam teori maupun prakteknya mengatur tentang bagaimana caranya seseorang, organisasi, badan hukum maupun badan usaha serta negara mengajukan suatu tuntutan hak dan atau gugatan terhadap para pelanggar hak dan kewajiban yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau ditentukan oleh para pihak yang berkepentingan melalui perjanjian yang telah disepakati bersama. Dalam hubungan keperdataan tersebut antara pihak yang satu dengan pihak lainnya apabila ada salah satu pihak atau beberapa pihak yang telah melakukan pelanggaran dan merugikan salah satu pihak atau beberapa pihak, akan dikenakan sanksi berupa hukuman. Hukuman dalam hukum acara perdata umumnya memberikan ganti rugi kepada salah satu pihak atau beberapa pihak yang telah dirugikan atas adanya pelanggaran yang terjadi. Terlepas apakah pelanggaran tersebut ada unsur kesengajaan apa tidak, yang pasti apabila adanya pelanggaran tersebut telah merugikan salah satu pihak atau beberapa pihak, maka pihak yang telah melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenakan sanksi hukuman keperdataan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum materiil.
Karena hukum acara perdata baik teori maupun prakteknya merupakan peraturan atau kaidah yang mengatur tentang pelaksanaan hukuman atas pelanggaran hak yang terjadi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum materiil, maka sifat dari hukum acara perdata adalah melaksanakan hukuman terhadap para pelanggar hak pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada di dalam hukum materiil agar dapat dilaksanakan secara paksa melalui pengadilan. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum acara perdata tersebut dibuat oleh penguasa dimaksudkan agar dalam hubungan antara pihak yang satu terhadap pihak yang lain yang ada dalam masyarakat dan atau suatu negara dapat berjalan dengan tertib dan terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban. Di samping itu juga dimaksudkan untuk mencegah adanya eigenrichting atau main hakim sendiri antara pihak yang satu dengan pihak lainnya setelah adanya pelanggaran hak dan merugikan salah satu pihak atau lebih. Jadi, apabila dalam suatu masyarakat terdapat adanya pelanggaran sesuatu hak, maka pihak yang telah melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukuman setelah adanya keputusan dari pengadilan negeri yang sifatnya dapat dilaksanakan dengan cara paksa tanpa pandang bulu.
Apakah penyelesaian sengketa perdata tanpa melalui pengadilan negeri para pelanggar hak dapat dipaksa untuk memberikan ganti rugi dan atau pemenuhan prestasi dengan cara paksa?
Jawabannya: Apabila para pihak yang bersengketa menyelesaikan permasalahannya terhadap pelanggar hak dilaksanakan dengan cara perdamaian di luar pengadilan, maka jika terjadi kesepakatan untuk pemberian ganti rugi atau pemenuhan prestasi pelaksanaannya kepada pihak yang telah dilanggar haknya sifatnya hanyalah kekeluargaan dan tidak dapat dipaksakan melalui aparatur pemerintah karena penyelesaiannya tidak mempunyai dasar hukum yang kuat dan tidak melalui proses litigasi, sehingga tidak dapat meminta bantuan aparatur pemerintah untuk melaksanakan pemenuhan prestasi secara paksa. Pelaksanaan pemberian ganti rugi atau pemenuhan prestasi yang diselesaikan secara kekeluargaan di luar pengadilan selain tidak dapat dipaksakan melalui aparatur pemerintah juga tidak ada keharusan untuk memenuhi sekaligus, tetapi pelaksanaannya dapat dicicil atau diangsur sesuai dengan kemampuan pihak yang telah melakukan pelanggaran, itupun sifatnya sukarela dan tidak dapat dipastikan berapa jumlah nominalnya.
Jadi, selama pihak yang melanggar hak mampu untuk memenuhi ganti rugi atau prestasi yang telah ditentukan oleh para pihak tidak menjadi masalah. Akan tetapi jika pihak yang melanggar hak tidak mampu untuk pemenuhan ganti rugi, maka pelaksanaannya tidak dapat ditentukan berapa jumlah nominalnya tergantung kemampuan pihak yang melanggar hak berapa kesanggupannya. Dalam hal ini untuk memberikan ganti rugi dan dengan cara bagaimana, apakah dengan cara diangsur untuk setiap bulannya atau setiap 2 (dua) bulan sekali atau bahkan hanya berupa kesanggupan saja dan tidak ada pelaksanaannya tidak ada sanksi hukumnya, sehingga dengan demikian penyelesaian sengketa di luar pengadilan pemenuhan ganti rugi atau prestasinya tergantung kesadaran dari pihak yang telah melakukan pelanggaran. Apabila yang melakukn pelanggaran hak menyadari tentang perbuatannya telah merugikan pihak lain tidaklah menjadi masalah karena orang yang telah sadar akan perbuatannya telah merugikan pihak lain ada kemungkinan besar untuk segera memenuhinya walaupun terkadang terlambat. Akan tetapi jika yang bersangkutan tidak menyadari tentang perbuatannya telah merugikan pihak lain, alangkah baiknya sengketanya diselesaikan melalui pengadilan dengan maksud agar pelaksanaan pemenuhan ganti rugi atau prestasi dapat dilaksanakan dengan cara paksa.
Dari uraian di atas jelaslah sudah bahwa penyelesaian sengketa tanpa melalui pengadilan pelaksanaan pemenuhan ganti rugi atau prestasi, tidak dapat dipaksakan karena secara yuridis yang dapat melaksanakan tindakan dengan cara paksa terhadap para pelanggar hak untuk pemenuhan ganti rugi atau pemenuhan prestasi hanyalah melalui proses litigasi atau keputusan hakim pengadilan. Apabila diselesaikan melalui proses litigasi di pengadilan, maka pelaksanaan pemenuhan ganti rugi atau prestasi dapat dilaksanakan dengan cara paksa, yang mana dalam pelaksanaannya pengadilan dapat meminta bantuan aparat teritorial setempat (tempat objek dari sengketa). Misalnya: pengadilan melakukan penyitaan dengan cara paksa terhadap barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan dalam persidangan pengadilan untuk pemenuhan suatu prestasi yang pelaksanaannya dapat minta bantuan aparat teritorial setempat (Polresta, Kodim, Koramil, Polsekta, Kecamatan, Lurah, dan Ketua RW/RT).
Buku
Sarwono,(2011).Hukum acara perdata teori dan praktik .Jakarta:Sinar Grafika